Wacana ini saya dapat dari Blog salah satu dosen saya www.sbektiistianto.wordpress.com. Bisa jadi lewat kisah ini kita dapat memetik sebuah pelajaran bagi saya maupun anda dalam membina rumah tangga. Saya ucapkan terimakasih kepada Pak Bekti yang mau berbagi kisah.
VERBALISASI CINTA
Ketika istri saya memberi hadiah sebuah buku ‘Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga’ karangan Ust. Anis Matta, saya merasa ditelanjangi, khususnya judul kedua, ketiga dan keempat. Kenapa? Karena selama empat tahun lebih saya menikah, bisa dihitung jari saya mengucapkan kata cinta kepada istri. Bahkan, mungkin bisa jadi tidak pernah. Beberapa kali istri saya menanyakan “Sebenarnya Abi cinta Umi nggak?”” Selalu saya jawab “Kalau nggak cinta kenapa masih di sini, bersama Umi dan kalau nggak cinta kan juga nggak akan ada anak-anak”.
Saya bukannya tidak bisa mengatakan sayang atau cinta. Kepada anak-anak, saya sering mengatakannya. Tapi kepada istri, saya tidak tahu kenapa terasa sangat berat. Saya selalu mempunyai semacam ‘keangkuhan’ untuk mengatakan ‘saya cinta kamu’. Saya selalu merasa tidak punya waktu untuk itu. Bisa jadi hal ini disebabkan banyak hal. Pertama, keluarga saya mendidik untuk tidak pernah mengucapkan pernyataan atau ekspresi perhatian cinta secara verbal. Kedua, apalagi saya selalu berpegang teguh pada prinsip yang namanya cinta tidak perlu diobral. Barang siapa yang sering mengatakannya berarti hanya sekadar basa-basi, ucapan gombal yang tidak bermakna. Menurut saya cinta adalah sebuah ekspresi, sebuah pernyataan atau bahkan sebuah bukti tanggung jawab. Karenanya dalam hidup berumah tangga terpenting adalah tidak menyatakan dalam bentuk ucapan tapi justru pada bentuk amal yang bisa dilihat dan dirasakan. Saya sering mengatakan pembuktian cinta bukan hanya di mulut tapi pada tindakan. Selama saya memenuhi kewajiban saya berarti saya selalu mencintai. Ketiga, proses pernikahan saya sendiri yang sangat cepat, dari ta’aruf sampai walimah hanya membutuhkanwaktu 2 minggu. Dan ini membuat saya merasa kesulitan mencoba mengatakan cinta kepada istri saya. Keempat.tidak terlalu mulusnya proses pernikahan kami karena hambatan keluarga besar pihak istri, membuat saya merasa mempunyai perasaan lain untuk menunjukkan siapa saya yang sebenarnya. Akhirnya, mungkin menjadi sebuah ‘dendam terselubung’ bahwa mengatakan ekspresi perasaan cinta adalah sebuah hal yang ‘tabu’. Sebuah hal yang menurut Ust. Anis Matta perlu diluruskan.
Ternyata keempat prinsip saya tersebut perlu pembahasan lebih lanjut. Ke-arogan-an saya untuk menolak mengekspresikan secara verbal perasaan cinta mesti mendapat sebuah pengenceran bahkan kalau perlu peluluhan, sehingga hal ini tidak menjadi kendala hubungan rumah tangga kami di masa depan. Meskipun sampai sekarang ini istri saya tidak pernah menuntut saya, tapi secara naluri saya sadar istri saya butuh ekspresi verbal itu dari saya. Kata salah seorang teman, pemuasan kebutuhan istri itu tidak sekadar lahir dan batin yang sama-sama kita ketahui tapi ‘pegekspresian perasaan cinta’ juga merupakan sebuah pemenuhan kebutuhan batin. Hal itu akan membuat ketenangan dan kedamaian, ibarat seekor burung kecil dan
lemah telah menemukan sangkar kuat yang melindungi, lanjutnya. Apalagi Rasulullah pernah menanyakan bagaimana perasaan cinta seorang sahabat dengan sahabat yang lain itu dilakukan. Beliau bahkan menegaskan ‘sampaikan rasa cintamu (lisan dan langsung) kepada orang yang engkau cintai’ (bahkan tidak dengan lawan jenis) dengan menyuruh menyampaikan secara terbuka.
Seperti seorang petinju, saya mungkin terkena uppercut yang langsung membikin saya KO. Apa betul begitu? Ternyata membina sebuah hubungan cinta tidak semudah yang diangankan. Mencintai adalah sebuah proses, tidak bisa sekaligus jadi dan langsung kuat. Tapi belajar mencintai ternyata sebuah proses yang rumit juga. Rasanya mudah mengatakannya tapi lebih sulit melaksanakannya. Bisa jadi saya baru melakukannya. Kata orang arif, tidaklah perlu merasa malu mengatakan terlambat daripada tidak sama sekali. Apalagi melaksanakan sesuatu lebih baik daripada sekadar mengucapkan tapi tidak melaksanakan.
Pagi itu, mungkin saya telah menemukan sebuah pencerahan akan pentingnya verbalisasi cinta. Saya akan selalu belajar untuk berproses mencintai dan selalu mencintai. Dan azzam saya adalah mengungkapkan ekspresi cinta saya kepada istri minimal lewat tulisan ini. Lebih lanjut, biarkan saya mengintepretasikan cinta dengan makna yang sesungguhnya. Tidak sekadar tindakan tapi juga lewat ucapan yang tentu saja bukan basa-basi tidak bermakna. Mungkin yang saya perlukan adalah bagaimana saya harus memulainya. Masalah sekarang adalah, bagaimana dengan perasaan cinta Anda dengan sahabat Anda (para pelaku da’wah)? Pernahkah Anda menyampaikan ungkapan cinta (karena Allah) ini secara terbuka kepadanya? Bila belum, lakukan ! Karena dengan ungkapan nyata, cinta itu akan menjadi lebih bermakna.
Saya bukannya tidak bisa mengatakan sayang atau cinta. Kepada anak-anak, saya sering mengatakannya. Tapi kepada istri, saya tidak tahu kenapa terasa sangat berat. Saya selalu mempunyai semacam ‘keangkuhan’ untuk mengatakan ‘saya cinta kamu’. Saya selalu merasa tidak punya waktu untuk itu. Bisa jadi hal ini disebabkan banyak hal. Pertama, keluarga saya mendidik untuk tidak pernah mengucapkan pernyataan atau ekspresi perhatian cinta secara verbal. Kedua, apalagi saya selalu berpegang teguh pada prinsip yang namanya cinta tidak perlu diobral. Barang siapa yang sering mengatakannya berarti hanya sekadar basa-basi, ucapan gombal yang tidak bermakna. Menurut saya cinta adalah sebuah ekspresi, sebuah pernyataan atau bahkan sebuah bukti tanggung jawab. Karenanya dalam hidup berumah tangga terpenting adalah tidak menyatakan dalam bentuk ucapan tapi justru pada bentuk amal yang bisa dilihat dan dirasakan. Saya sering mengatakan pembuktian cinta bukan hanya di mulut tapi pada tindakan. Selama saya memenuhi kewajiban saya berarti saya selalu mencintai. Ketiga, proses pernikahan saya sendiri yang sangat cepat, dari ta’aruf sampai walimah hanya membutuhkanwaktu 2 minggu. Dan ini membuat saya merasa kesulitan mencoba mengatakan cinta kepada istri saya. Keempat.tidak terlalu mulusnya proses pernikahan kami karena hambatan keluarga besar pihak istri, membuat saya merasa mempunyai perasaan lain untuk menunjukkan siapa saya yang sebenarnya. Akhirnya, mungkin menjadi sebuah ‘dendam terselubung’ bahwa mengatakan ekspresi perasaan cinta adalah sebuah hal yang ‘tabu’. Sebuah hal yang menurut Ust. Anis Matta perlu diluruskan.
Ternyata keempat prinsip saya tersebut perlu pembahasan lebih lanjut. Ke-arogan-an saya untuk menolak mengekspresikan secara verbal perasaan cinta mesti mendapat sebuah pengenceran bahkan kalau perlu peluluhan, sehingga hal ini tidak menjadi kendala hubungan rumah tangga kami di masa depan. Meskipun sampai sekarang ini istri saya tidak pernah menuntut saya, tapi secara naluri saya sadar istri saya butuh ekspresi verbal itu dari saya. Kata salah seorang teman, pemuasan kebutuhan istri itu tidak sekadar lahir dan batin yang sama-sama kita ketahui tapi ‘pegekspresian perasaan cinta’ juga merupakan sebuah pemenuhan kebutuhan batin. Hal itu akan membuat ketenangan dan kedamaian, ibarat seekor burung kecil dan
lemah telah menemukan sangkar kuat yang melindungi, lanjutnya. Apalagi Rasulullah pernah menanyakan bagaimana perasaan cinta seorang sahabat dengan sahabat yang lain itu dilakukan. Beliau bahkan menegaskan ‘sampaikan rasa cintamu (lisan dan langsung) kepada orang yang engkau cintai’ (bahkan tidak dengan lawan jenis) dengan menyuruh menyampaikan secara terbuka.
Seperti seorang petinju, saya mungkin terkena uppercut yang langsung membikin saya KO. Apa betul begitu? Ternyata membina sebuah hubungan cinta tidak semudah yang diangankan. Mencintai adalah sebuah proses, tidak bisa sekaligus jadi dan langsung kuat. Tapi belajar mencintai ternyata sebuah proses yang rumit juga. Rasanya mudah mengatakannya tapi lebih sulit melaksanakannya. Bisa jadi saya baru melakukannya. Kata orang arif, tidaklah perlu merasa malu mengatakan terlambat daripada tidak sama sekali. Apalagi melaksanakan sesuatu lebih baik daripada sekadar mengucapkan tapi tidak melaksanakan.
Pagi itu, mungkin saya telah menemukan sebuah pencerahan akan pentingnya verbalisasi cinta. Saya akan selalu belajar untuk berproses mencintai dan selalu mencintai. Dan azzam saya adalah mengungkapkan ekspresi cinta saya kepada istri minimal lewat tulisan ini. Lebih lanjut, biarkan saya mengintepretasikan cinta dengan makna yang sesungguhnya. Tidak sekadar tindakan tapi juga lewat ucapan yang tentu saja bukan basa-basi tidak bermakna. Mungkin yang saya perlukan adalah bagaimana saya harus memulainya. Masalah sekarang adalah, bagaimana dengan perasaan cinta Anda dengan sahabat Anda (para pelaku da’wah)? Pernahkah Anda menyampaikan ungkapan cinta (karena Allah) ini secara terbuka kepadanya? Bila belum, lakukan ! Karena dengan ungkapan nyata, cinta itu akan menjadi lebih bermakna.
S. Bekti Istiyanto, S. Sos
Penulis adalah Bapak dua anak tinggal di Purwokerto, yang selalu mencoba mencintai.
Penulis adalah Bapak dua anak tinggal di Purwokerto, yang selalu mencoba mencintai.
0 komentar:
Posting Komentar